Selasa, 23 Agustus 2011

when love is not about love [based on true story] Part 2

Setiap hari semua temanku menanyakan kelanjutan kisahku dengan Michael, mereka seakan tak sabar untuk melihatku mempunyai kekasih. hari itu tanggal 5 Mei, dan menurut teman-temanku itu adalah tanggal yang bagus untuk jadian. Tapi saat itu aku baru 2 minggu dekat dengan Michael, masa sih Michael secepat itu mengambil keputusan? Aku juga dengar dari Dea, teman dekat Michael, ia bilang kalo Michael ingin mengatakan cintanya kepadaku hari itu, namun ia menggagalkannya karna ia fikir itu terlalu cepat.

Jujur sih, aku sedikit kecewa, entahlah aku memiliki insting jika kisah cinta yang diketahui orang banyak sebelum ‘jadi’ tidak pernah berhasil. Aku sungguh takut sekali itu terjadi saat itu. Aku meyakinkan diriku bahwa segala sesuatu akan berjalan baik-baik saja. Walau sebagian diriku masih merasa sedikit kegusaran, akan sesuatu ketidak cocokan, bukan dari kami tapi dari alam.

Perlahan, hubungan kami mulai diketahui oleh orang-orang luar, bahkan dari orang tuaku. Dimulai saat Michael datang kerumahku, kami mengbrol seperti biasa membicarakan banyak hal, dan tiba-tiba ibuku pulang. Saat itu aku sangat takut, aku masih belum tahu apakah aku mempunyai izin untuk berpacaran. Namun, yang aku tangkap dari sorot mata ibuku menunjukkan ia sedikit defensive dengan Michael.

“temanmu itu, beda agama ya?”

“iya mah..”

“gausah kalo beda agama…”

Mendengar ucapan ibuku, aku menjadi sangat sedih. Semua perasaanku hancur, seolah aku tiada di hormati, tak ada kah sedikit orang saja yang mendukungku. Aku masih berfikir kelak ibuku akan berubah fikiran, aku hanya berdoa kepada Allah, agar diberikan yang terbaik dari semua ini.

Kedekatan kami terus berlangsung, hingga saat itu, tanggal 11 Juni, ia berniat untuk menyampaikan cintanya kepadaku. Jujur, aku sangat senang dan menantikan moment ini. Ponselku berdering, terlihat nama Michael di Home Screen, aku sedikit deg-deg an. Mungkinkah ini saatnya? Ku angkat telpon dari Michael. Ia mengajakku berbasa basi, mengobrol panjang lebar seperti biasa selama 30 menit di telpon. Tapi mana? Aku tidak mendengar dia menyatakan cinta?!

Keesokan harinya, aku pergi les, berharap saat itu aku bertemu Michael, dan bisa berbicara yang lebih dari di Ponsel. Mungkin kemarin Michael nervous, mungkin. Aku bertemu dengan Dea di tempat les, tapi mana Michael? Michael tidak masuk hari ini, dia tidak mengabariku, oh Tuhan, semoga dia baik-baik saja.

“hai El… ciee nyariin Michael ya?” Dea menegurku disela istirahat les.

“haha.. bisa aja, gak kok..” jawabku dengan sedikit malu.

“eh ken, sorry ya, gue mau kasih tau lo sesuatu, tapi lo jangan sedih ya?”

“apaan ea?”

“Michael sebenernya mau nembak lo kemaren itu, tapi keluarganya gak setuju el, karna keluarganya itu salah satu ketua adat apa gitu.. jadi bener-bener religious banget, and.. you already know that agama lo sama dia kan, beda. Jadi nyokapnya rada gak setuju. Hmmm, sorry ya..”

“hah? Kenapa gak Michael sendiri yang kasih tau ke gue?”

“ya mungkin belum saatnya el, mungkin nanti, tapi lo jangan sedih anggep aja dia temen”

Berita dari Dea benar-benar bisa membuatku pingsan saat itu juga, tapi aku memastikan untuk bisa tetap tegar dan tunggu konfirmasi dari Michael sendiri. Jujur, kalo sudah masalah yang satu ini, siapa yang bisa hindari?

Michael memberiku kabar dimalam harinya, dan sedikit mengutarakan niatnya untuk berbicara hal yang sama seperti Dea sampaikan kepadaku. Dia mengirimkan beberapa SMS yang sangat deep conversation. Aku hanya bisa terdiam, menahan air mata yang akan jatuh. Sungguh, ini sangat sakit. Michael berencana akan datang kerumah esok hari untuk menjelaskan seluruhnya kepadaku. Dan aku rasa itu hal yang positif dari semua hal yang buruk yang akan terjadi besok. Dan sekarang aku terus berharap pagi tidak akan datang, menatap bintang malam ini, dan sedikit bertanya kepada Bulan, mengapa ini membuat kami berpisah?



part 1
part 2
part 3

0 komentar:

Posting Komentar

 

write, read, love. Template by Ipietoon Cute Blog Design